Naïve Little Girl
undefined
undefined
Summary: SasuSaku. Paranoid akan
hubungannya dengan Sasuke dan api kemarahan yang menyulut hatinya karena sindiran
Sang Kekasih di jejaring sosial, Sakura pun merasa perlu untuk mengakhiri
hubungan yang hampir enam bulan itu dengan Sasuke.
.
.
.
Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
Typos-purely-human-error-check-error-check-error-check
This is like, my first fanfiction for FNI
Oh-yes-AU-and-Out-of-Character.
…
Naïve Little Girl by Devia Purwanti
“Mau
tahu aktivitas pacaran zaman sekarang, Saku-chan?”
Bisikan kecil berbentuk pertanyaan menguar dari mulut gadis yang tengah
mencondongkan posisi duduknya ke arah gadis gulali yang tengah terkantuk-kantuk
di sampingnya.
“Tidak, ah. Paling-paling tidak ada yang
lebih romantis dari aktivitasku dengan Sasuke-kun,” sahut gadis gulali tersebut acuh. Kelopak matanya tampak
berat untuk digerakkan ke atas.
Ino mengernyit, kemudian menatap fokus
gadis di depannya. “Memangnya kau sudah melakukan apa saja?” Alis gadis
berambut pirang itu menukik menyelidik.
Menyelesaikan aktivitas menguapnya, si
gadis gulali bertanya dengan nada menggoda, “Bertanya seperti itu, kau pasti ingin
menyontek aktivitasku bersama Sasuke-kun
untuk kaulakukan bersama Sai-san,
ya?”
Ino mendecih, “Aku dan Sai-kun sudah cukup romantis untuk mencontoh
apa pun itu aktivitasmu, tahu.” Jeda sebentar. “Sudahlah, cepat jawab
pertanyaanku!” tuntut Ino tidak sabar. “Kau tidak yang macam-macam, ‘kan?”
“Hm—coba kupikir sebentar ….” Sakura
menelengkan kepalanya, menatap khidmad ke langit kelas. “Ada banyak sekali, Ino-chan. Kalau latar tempatnya sedang di
rumah masing-masing, aku sms-an
dengannya. Biasanya sih, aku terus yang mengajaknya sms-an. Pun begitu tidak masalah, yang penting ‘kan aku dan dia
melakukan aktivitas bersama. Bahkan aku tidak mengantuk meskipun cuma
mendiskusikan hal-hal tidak penting sampai tengah malam. Sampai Sasuke-kun ngantuk pun aku temani, kalau perlu.
“Lalu, kalau latar tempatnya sedang di
tempat kami berkencan—seperti taman bermain dan lapangan bola—biasanya kami hanya
akan mengobrol bersama Naruto-kun.
Topik pembicaraan kami juga makin luas daripada di sms, pokoknya seru! Memang sih, seringnya Naruto-kun terus yang berbicara denganku. Agak
aneh juga, tapi kata Sasuke-kun,
setiap berkencan harus ajak Naruto-kun.
Tidak tahu kenapa ….” Sakura menarik napas dalam-dalam untuk penjelasan
terakhirnya, “Terus, kalau latar tempatnya sedang di sekolah—seperti sekarang,
biasanya kami akan lirik-lirikan. Kalau salah satu dari kami tertangkap menatap
satu yang lain, maka yang tertangkap basah menatap itu akan langsung merona dan
membuang muka malu-malu. Hahahaha … kendatipun aku terus—dan Sasuke-kun tidak pernah—yang tertangkap basah
menatap duluan. Salahnya sendiri kenapa tampan begitu. Romantis sekali, hm,
Ino-chan?” Sakura terlihat bangga.
Gadis itu melipat tangannya di dada tanpa menghapus senyum lebarnya.
Ino menatapnya, tampak kehabisan kata.
Gadis berambut pirang itu berdiri, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dengan wajah jengkel, ia pergi dari tempat itu sebelum berucap untuk yang
terakhir, “Romantis di Zaman Purba.”
“Hahaha. Tidak perlu iri begitu dong, Ino-chan!”
(-(oo)-)
{………}
{…I…}
Treng,
treng, treng.
Telinga Sakura berdiri
tegak kala mendengar bunyi genta sekolah. Dia ketiduran di kelas—lagi.
Untungnya kali ini pelajaran Kakashi-sensei,
yang cara mengajarnya tidak sekeras sensei-sensei
yang lain. Kalau tidak, habislah Sakura hari itu; harus berlari memutari
lapangan sebanyak sepuluh kali.
Sakura hendak membereskan barang-barangnya
ketika pemuda berambut hitam pekat menyambangi mejanya di sisi yang berlainan.
Sai, kekasihnya Ino, sedang mengulurkan
tangannya pada Ino. Sakura hanya memperhatikan gerak-gerik mereka dengan
tertarik.
“Sai-kun,
ada perlu apa?” tanya Ino, sembari menyambar tangan Sai yang terulur ke
arahnya.
“Tentu saja mengajakmu pulang bersama. Kita
‘kan tidak pernah pulang bersama …,” jawab Sai pelan, warna merah muda mulai
menyebar di tekstur pipinya.
Ino tersenyum riang. “Baiklah. Aku bereskan
barang-barangku dulu ya,” ujar Ino. Gadis berambut pirang itu memutar kepala ke
arah Sakura yang masih fokus memperhatikan gerak-gerik mereka. “Hm, Saku-chan, kau tidak apa-apa, ‘kan, kalau
pulang sendiri?”
“E—eh … tidak apa-apa kok, Ino-chan.”
“Hehehe, baik sekali! Terima kasih, Saku-chan.” Ino mulai meletakkan pengait
lebar tas selempangnya di bahu. “Nah, aku pulang duluan, ya ….” Sepasang
kekasih itu kemudian berjalan beriringan. Tangan mereka terkait satu sama lain,
mengimbangi langkah berdua.
Setelah mengobservasi keduanya, Sakura pun
larut dalam pikirannya.
Ino-chan dan
Sai-san romantis juga, ya ….
Ada niat yang memaksa emerald gadis itu untuk berkelana mencari kepala berambut langit
malam. Pandangannya jatuh ke penghujung meja di depan kelas—ke arah punggung
Sasuke yang berada di meja terdepan. Sementara Sakura dengan posisi meja yang
terbelakang.
Dari tempatnya, Sakura terus memperhatikan
Sasuke yang tengah menulis entah apa di bukunya.
Padahal pelajaran sudah berakhir, masih
saja berkutat pada buku, kekasih tercinta Sakura itu. Tanpa sadar Sakura
tersenyum geli.
“Oooi, Saku-chan!” Momen menatap Sasuke itu tergeser oleh suara yang memekakan
telinga. Sakura bergidik mendengar lengking suara sobat karibnya yang familiar.
“Ada apa, Naruto-kun?”
Berlari pelan ke arah Sakura yang tengah
membereskan tumpukan buku di mejanya, pemuda berambut jeruk lemon itu pun tak lupa mencuri waktu untuk
merapikan rambutnya sebentar. “Saku-chan,
di luar hujan, lho.”
“Hujan? Kok aku tidak dengar suaranya, ya?”
Sakura jadi bingung sendiri.
“Yah, terang saja kau tak dengar. Dari tadi
fokusmu ke si Teme terus, sih. Lagipula, hujannya baru mulai tadi—sekitar lima
menit yang lalu.”
Ino-chan dan
Sai-san pasti sedang berpayungan berdua sekarang. Duh, romantisnya ….
Cepat-cepat Sakura menghapus pikirannya
itu.
“Terus kita pulangnya bagaimana? Aku tidak
bawa payung,” volume suara gadis itu
terdengar pelan teredam suara hujan yang mulai besar.
“Tidak perlu khawatir, aku bawa payung kok,
Saku-chan! Kita satu payung berdua
saja.” Tulang pipi pemuda itu terangkat—membentuk sebuah senyum, membuat garis
wajahnya mengerut di sisi-sisi tertentu.
Sakura memanyunkan bibirnya ke samping. “Baiklah.
Tapi ingat; setengah-setengah! Nanti seperti kemarin—bajuku kebasahan karena
teritorialku di payung hanya dua-puluh lima persen.”
“Hehehe. Siap, bos!”
Sakura berjalan bersama Naruto ke luar
kelas. Ketika melewati meja Sasuke, Sakura memelankan langkahnya dan
memberanikan diri untuk bertanya, “Sasuke-kun,
kau tidak pulang? Di luar hujan, lho,” katanya mencoba terdengar biasa—diam-diam
ia mengutuki dirinya sendiri karena memberi semacam info yang pastinya sudah
diketahui umum. Di balik yang terlihat, Sakura bisa merasakan jantungnya
berdetak keras di dalam sana, menyebabkan otak Sakura tidak fokus. Tidak lama
kemudian, pori-pori di telapak tangannya mulai merembeskan butiran air ke
permukaan.
“Nah, itu kau tahu,” jawaban ringan
meluncur dari bibir pemuda itu.
“Tahu … apanya? Coba jelaskan,” akunya tak
mengerti.
Wajah Sasuke tampak jengkel. “Karena
kondisinya sedang hujan, makanya aku tidak pulang,” ia menjelaskan.
“Hahaha …,” gelak tawa Naruto terdengar. “Sudahlah, Saku-chan! Teme mah banci, takutnya dengan
air!” Pemuda berambut jeruk lemon di samping Sakura langsung menarik tangannya
untuk pergi. Tanpa perlawanan, Sakura mengikuti langkah besar sobat karibnya
itu.
“Enak saja! Aku bukannya takut dengan air!”
Sasuke berteriak. Namun ia sadar kalau suaranya tidak lebih kencang dari bunyi
serangan langit di luar sana.
---------
Tak banyak diksi yang
keluar dari bibir-bibir mereka. Si gadis sibuk memperhatikan jejak-jejak air
hujan yang menggenang di cekungan tanah merah yang keduanya lalui. Sementara
pemuda di sampingnya terlihat kewalahan memegang payung besar miliknya yang
terus bersomplokan dengan kerasnya hembusan angin. Keduanya sama-sama
menjinjing sepatu dan kaus kaki mereka—agar tidak basah terendam air banjir.
“Um—Naruto-kun, kok Sasuke-kun tidak
pernah mengajakku pulang bareng, ya?” sepatah pertanyaan bernada tinggi keluar
dari bibir si gadis gulali.
Naruto, yang masih kepayahan memegang
payung, berusaha untuk menjawabnya dengan kencang—berupaya keras mengalahkan
bunyi serangan langit. “Arah rumahmu ‘kan berlawanan dengan rumah Teme,
Saku-chan. Kau ini bagaimana, sih.”
Bertahan tiga detik dengan ekspresi
bodohnya, mimic wajah gadis itu berubah seolah tersadar, “Oh iya, ya. Kenapa
aku jadi lupa begini? Pantas saja Sasuke-kun tidak pernah mengajakku pulang
bareng—‘kan arah rumahnya berlawanan dengan rumahku, ya!” ia tertawa, merasa
bodoh sendiri atas eksisnya batu yang sedari tadi mengganjal pikirannya.
Ini
gara-gara Ino-chan dan Sai-san—melihat mereka pulang bareng sepertinya hanya
meracuni pikiranku. Aku jadi berpikir yang aneh-aneh tentang Sasuke-kun. Mulai
sekarang, aku tidak akan paranoid lagi dengan Sasuke-kun. Janji, deh! pikir Sakura.
Terasa serangan langit yang perlahan mulai
mereda. Sakura sudah sampai di depan rumahnya. “Naruto-kun, aku duluan, ya! Jaa mata ashita ne ….”
“Yosh!”
Pemuda itu pun melanjutkan perjalanan ke rumahnya yang berjarak tak lebih dari
dua ratus meter ke depan. Seri-seri tidak pernah lepas dari wajahnya.
(-(oo)-)
{………}
{…I…}
Sakura mengubah-ubah posisi
terjaganya di kasur tidur. Tangannya sulit dihentikan untuk memutar-mutar handphone miliknya. Kalau dimengerti
lebih dalam, tahulah kalau ternyata tangan gadis itu sedang gatal-gatalnya—dalam
hal ini, tidak tahan—untuk meng-sms kekasihnya.
“Aku tidak punya pulsa, sih!” dia menggerutu
di ujung bibir.
Pulsa, pulsa, pulsa ….
Pulsa, pulsa, pulsa ….
Ayo, pikir!
Beberapa saat setelah pikirannya menemukan
jalan mulus, gadis itu pun bergegas untuk mengendap-endap ke kamar orang
tuanya. Memastikan orang tuanya tengah menonton televisi bersama, dengan
gamblang Sakura melancarkan aksinya mengorek isi laci lemari.
Laptop? Cek. Modem? Cek. Handphone? Cek.
Semua barang ia borong dengan kedua tangan
menuju kamar pribadinya. Dengan langkah seperti tikus—lincah dan pelan, ia pun
sampai di kamarnya. Segeralah gadis itu merebahkan diri di kasur. Ketiga barang
yang kini menjadi harta karun kamarnya itu ia peluk dengan erat. Tersenyum
puas, ia pun bergumam, “Fuh, akhirnya.”
Dengan Handphone—barang
canggih terakhir yang ia ambil, gadis itu pun mulai meng-sms kekasihnya.
To: Sasuke-kun
Sasuke-kun,
PR buat besok apa saja sih?
-Sakura
PS: ini nomor Okaa-san.
Bah, basi.
Meskipun Sakura tahu bahwa sms seperti itu
sangat basi, kekerasan hatinya tetap berdiri untuk meyakinkan dirinya sendiri
kalau pesan seperti itu merupakan hal yang penting. Bukan hal yang basi. Kalau
untuk Sasuke yang notabene sering belajar, itu menjadi bukan hal yang basi.
Bukan.
Si rambut gulali menunggu balasan dari
kekasihnya. Dengan sabar ia bersenandung agar waktu untuk menunggu sms itu
menjadi tak terasa.
Lima menit berlalu dengan membosankan.
Sepuluh menit ternyata dua kali lipat lebih
membosankan.
Setelah lima belas menit—yang menjadi tiga
kali lipat lebih membosankan, ia pun memutuskan untuk membunuh kebosanannya.
Hal yang penting? Tak terasa, hm?
Mungkin
Sasuke-kun sedang sibuk. Aku ‘kan sudah janji tidak boleh paranoid. Ganbatte,
Sakura!
Tidak ingin membuang waktu lebih banyak,
gadis gulali yang sudah tidak sabar itu pun beralih pada barang terbesar yang
ia ambil. Sakura menyalakan laptop milik orang tuanya dengan antusias. Tak lupa
setelah booting selesai, gadis itu
menancapkan modemnya dan menyambungkan ke jaringan internet.
Tujuannya kali ini tidak banyak—ia hanya
ingin mengintip akun sosial Sasuke saja, kok. Yang jelas tanpa unsur-unsur
paranoid—ia beralasan. Gadis itu pun segera mengakses internetnya dengan
mengklik ikon bertuliskan Google Chrome.
Jendela Twitter,
aku datang!
Setelah menunggu loading yang lumayan lama akibat hujan angin siang tadi, akhirnya
Sakura sampai di akun sosialnya. Gadis itu langsung mengetik nama pengguna yang
dipakai Sasuke, yaitu @Sasudemon.
Kendatipun terdengar agak angker, si gadis gulali memaksakan dirinya untuk
beropini bahwa nama pengguna Twitter yang digunakan Sasuke adalah nama yang
paling keren. Tanpa sadar gadis itu bergidik.
Tampilan profil Sasuke memang tidak banyak
berubah—termasuk bio dan avatarnya. Sakura pun menggulung layar laptopnya ke
bawah. Ia sudah sangat penasaran dengan twit-twit yang di-update oleh kekasihnya itu.
@Sasudemon
Mulai membosankan.
4 minutes
ago via web.
Gulung lagi ke bawah—
@Sasudemon
Basi sekali.
18 minutes
ago via web.
Semakin ke bawah—
@Sasudemon
Jadi kesal denganmu.
6 hours ago
via web.
Tiga twit itulah yang Sasuke update hari ini. Sisanya merupakan
twit-twit tidak menarik yang di-update
tiga hari yang lalu. Udara dingin yang mencekam sehabis hujan yang mengisi
ruang kamar Sakura agaknya mulai berganti menjadi udara panas. Panasnya merayap
menciptakan warna-warna cabai merah di tekstur polos pipi si gadis gulali.
Kentara sekali bahwa twit kedua dari yang
teratas berisi dua kata—yaitu ‘basi sekali’—memancing mencuatnya pikiran
paranoid. Sudah bisa dipastikan kalau twit tersebut merupakan ungkapan gamblang
lelaki berambut langit malam terhadap sms
yang dikirimkan Sakura sekitar dua puluh menit yang lalu.
Belum lagi, twit terbaru yang berisi dua kata
yang lain—yaitu ‘mulai membosankan’—sudah tidak bisa dicerna mulus oleh pikiran
positif Sakura. Kesuksesan besar diraih oleh pikiran paranoidnya yang sempat
kalah siang tadi.
Lalu, twit berisi ‘mulai kesal denganmu’
itu lebih tidak bisa ditangkap nalar oleh si gadis gulali. Tidak pernah merasa
melakukan sesuatu yang membuat kekasihnya itu kesal sampai memilih untuk curhat
di Twitter, Sakura pun meremas barang-barang lunak yang ada di sekitarnya;
seperti guling, bantal, dan selimut. Tangannya gemetaran dan butiran keringat
mulai keluar dari pori-pori telapaknya.
Terkuasai oleh emosi yang meletup-letup, ia
pun mulai mengetik dan mengupdate
twit di akunnya.
@Sasusaku
Oh, jadi kau kesal? Basi, ya? Mulai bosan,
hm?
0 sec ago
via web.
Dengan tembakan satu twit yang kalau dibaca
terdengar sarkasmenya, si gadis gulali kembali memikirkan kata apa lagi yang
akan ia update untuk Sasuke. Gadis
itu terlanjur tergoda membuat kekasih yang smsnya ia tunggu untuk merasa
tersindir.
@Sasudemon
Naïve little
girl, indeed.
1 minute ago
via web.
Sakura membacanya. Tidak mengerti akan
pernyataan yang diupdate oleh akun
@Sasudemon milik kekasihnya itu, Sakura pun mengambil kasar Kamus Bahasa
Inggrisnya yang berdiam di bawah kasur. Ia mencari artian kata per kata yang ada.
Dari keempat artian yang ia mulai mengerti,
si gadis gulali hanya menyimpulkan satu kata—yaitu kata terdepan yang menyabet
emosi hatinya.
Belum sempat membalas sindiran yang sudah
dipastikan untuk dirinya itu, ternyata Sakura masih harus menelan pahitnya
suasana akun sosial malam ini.
Di beranda Twitternya, twit Karin—penjual
pulsa di kelasnya, ternyata lebih menyabet perhatian.
@KarinUzu
@Sasudemon: Sasuke-kun, sudah sampai?
0 sec ago
via mobile web.
Nah, nah,
nah. Maksudnya apa ini? Sasuke-kun sudah sampai ke mana?! Batin Sakura semakin tidak
tenang.
Jangan-jangan
Sasuke-kun ada main dengan Karin-san! Pikiran paranoid Sakura mulai menggeser
kemarahannya. Kini otak Sakura berisi hal-hal negatif tentang Sasuke dan Karin
yang sedang berduaan di malam hari.
Malam hari.
Tidak,
tidak. Mana mau Sasuke-kun dengan Karin-san? Dia manja—dan Sasuke-kun bukan
tipe yang suka memanjakan ceweknya.
Terkuasai oleh hormon dan labilitas
remajanya, sesuatu yang mengerikan dalam dirinya pada akhirnya memilih untuk
keluar. Dengan antusias serta debaran jantung yang ganas, si gadis gulali
bertekad untuk mengganti password—yang
sudah diketahui Sasuke—dan nama penggunanya yang ada emblem-emblem ‘Sasu’
segala.
@Harunos
@Sasudemon: PENGHIANAT! Aku menunggu balasanmu
atas smsku, EH TAHUNYA KAU MALAH PERGI DENGAN GADIS LAIN! Aku memang gadis
kecil bodoh, tapi aku tidak sebodoh itu untuk mempertahankan hubunganku
denganmu. Awas saja!
0 sec ago via web.
Tweet.
Sakura langsung memencet tombol kematian
mutlak tak permanen untuk laptopnya. Segera ia cabut modem yang masih tercoblos
kuat di port USB laptopnya. Dibawanya
ketiga barang beraroma neraka itu kembali ke laci lemari pemiliknya yang
ternyata masih sibuk menonton siaran televisi. Handphone miliknya sendiri pun ia matikan.
Mempertahankan posisi air mata yang bersiap
meluncur keluar dari pelupuk mata, Sakura menenggelamkan kepalanya kuat-kuat dalam
kelunakan bantal—bersusah tapi payah meredam pekik kesalnya.
Dia tidak egois, ‘kan?
Meskipun detik ini Sakura masih sangat
sayang dengan Sasuke, tapi yang namanya penghianatan tidak bisa dimaafkan.
Panas. Panas. Cemburu—ia mengakui. Mungkin level cintanya memang masih
nongkrong di tingkat eros—ia masih mementingkan dirinya; kecemburuannya, yang
artinya ia mementingkan diri sendiri, bukan orang yang dicintai. Hati si gadis
gulali itu terasa tertohok.
Memangnya ia harus bagaimana?—Harus
mendahulukan Sasuke dan kebutuhannya?
Seperti kebutuhannya dengan Karin?
Yah, terlambat. Tadi ‘kan di Twitter ia
sudah menyatakan bahwa ia memang gadis kecil bodoh, tapi ia tidak sebodoh itu
untuk mempertahankan hubungannya dengan Sasuke.
Jadi, malam ini—saat di mana matahari tidak
berhadapan dengan teritorialnya, dan kala bulan bisa terlihat hanya karena
memantulkan cahaya matahari, Sakura pun terjun ke alam mimpinya dengan pikiran
negatif yang masih tertancap.
!!!!!!!!—!!!!!!!
“Sakura-chan
… Sakura-chan … sekolah tidak?”
Naruto memanggil Sakura dari luar rumahnya.
Terlihat kenop pintu kayu bergaya klasik
rumah itu terbuka perlahan—menyembulkan kepala berambut gulali sejati. Gadis
itu—Sakura—penampilannya sangat berbeda dari hari biasanya. Sakura menampilkan
diri seutuhnya dari pintu bergaya klasik tersebut.
Sudut mata rubah Naruto memicing menatapnya,
memperjelas fokusnya pada kelopak mata gadis di depannya yang terlihat lebih
besar. “Matamu kenapa, Saku-chan?” ia
menyuarakan pertanyaannya.
Sakura tersenyum. “Biasalah, tadi malam aku
begadang. Tahu sendiri, ‘kan, orang begadang tuh matanya masih terlihat
ngantuk,” ia beralasan lalu menguap lebar.
Naruto menyadari ada yang tidak beres
dengan senyum serta mata gadis itu pagi ini. “Kalau mata orang begadang sih aku
juga tahu—‘kan aku juga sering begadang nonton bola. Tapi matamu—kok kelopaknya
bengkak dan merah begitu, sih? Seperti habis nangis semalaman saja. Kau tahu ‘kan,
mata ngantuk dan mata habis nangis itu beda ….” Sepasang remaja yang bersahabat
itu mulai berjalan beriringan menuju sekolahnya.
Kecolongan oleh perkataan Naruto yang
terakhir, butir asin di pori-pori telapak tangan Sakura pun mulai keluar karena
panik. “Nangis apanya, sih? Kau ini ngaco saja lama-lama. Oh ya, bagaimana
pendekatanmu dengan Hina-chan?” alih
gadis itu sambil mengelap permukaan telapak tangannya yang sudah banjir
keringat dengan saputangan.
Alih-alih termakan pertanyaan Sakura,
Naruto masih bersikukuh mempertahankan topik pembicaraannya. “Jangan main
sembunyi-sembunyian, dong, Saku-chan.
Kita ‘kan sudah bersahabat dari masih di Taman Kanak-Kanak 1 Konoha.”
Baru kali ini, sepanjang perjalanan
hidupnya saat berangkat dan pulang sekolah bersama Naruto, Sakura tampak tidak
nyaman. “Aku tidak main sembunyi-sembunyian. Tadi malam aku memang begadang,
kok. Tapi aku tidak nangis—siapa juga yang sudi menangisi cowok, hu!”
Naruto terperangah sementara Sakura
langsung membekap mulutnya sendiri. Sudut bibir Naruto terangkat menyaksikan
polosnya alasan gadis itu. Terkadang, suatu alasan karena terpojok memang bisa
membunuhmu tanpa sadar. Selalu ingat itu.
Makanya, jujur sajalah—
“Bu-bukan! Bukan begitu—“
—daripada gagap begitu.
“Huahaha. Dasar kau, Saku-chan, selalu saja keceplosan! Nah,
sekarang aku ingin tanya, apa yang dilakukan ayahmu sampai kau nangis begitu?”
Naruto terlihat berpikir sebentar, “Pasti karena laptop dan modem belum juga
diwariskan kepadamu, ya? Iya, ‘kan? Hahaha! Kau ini kekanak-kanakan sekali,
sih! Tidak dikasih laptop dan modem saja sampai nangis begitu. Payah!” Pemuda
itu menyentil dahi si gadis gulali sembari tertawa keras. Sementara yang
disentil hanya bengong.
Payah.
Payah.
.
.
.
Menenangkan hati sebelum memasuki kelas, si
gadis gulali berjalan menuju teritorial duduknya yang sudah diputar dan naik
setingkat lebih depan. Kepalanya terus menunduk, menyebabkan anak rambut yang
ditahan oleh bando yang membingkai wajahnya sedikit-sedikit mulai jatuh.
Wajahnya menekuk, bahunya lesu, dan tanpa sadar ia sudah sampai di tempat
barunya.
“Wah, wah, wah, tumben kau tidak menyapaku
seperti biasanya?” tanya Ino yang menyadari adanya keganjilan aktivitas
biasanya pagi ini.
Tanpa garis ketertarikan di wajahnya,
Sakura menjawab, “Aku sedang tidak berselera menyapa orang.”
Belum lama mereka mengobrol, kepala Sakura
terangkat ketika menyadari adanya rambut berwarna langit malam yang berpindah
bersama si pemilik dari ekor matanya.
“Wajahnya memang tidak pernah berubah,
ya—setia sekali dengan ekspresi datarnya. Memangnya dia benda mati, apa,” Ino merengut
pada Sakura. Kedua gadis itu memperhatikan lelaki yang melangkah santai ke
tempat duduknya.
Sakura memicingkan matanya ke arah
Sasuke—mantan pacarnya—tidak suka. “Iya, memang sialan benar wajah tanpa
ekspresinya itu,” ia menyahut sambil mengangguk-angguk.
“Tahu tuh—eh, tahan … tahan dulu! Tadi kau bilang
apa? Wajah Sasuke kau bilang sialan?” Ino tersadar.
Dahi gadis berambut gulali itu mengerut, ia
baru tersadar. “U—uh, gini, lho, Ino-chan, Sasuke-kun kan tampan, tapi dia
tidak menggunakan ketampanannya untuk hal-hal yang baik,” si gadis gulali
menjelaskan dengan panik.
“Memangnya hal-hal baik yang bisa dilakukan
dari ketampanan seseorang itu seperti apa contohnya?” garis pelipis Ino ikut
mengerut.
“Seperti—apa, ya—mungkin memanfaatkan
ketampanannya,” Ino tampak ingin menyela, namun sesegera Sakura melanjutkan,
“pokoknya begitu. Kau ‘kan pintar, Ino-chan,
yang lain-lain pikir saja sendiri!” Sakura tertawa canggung, berusaha menelan
kepanikannya.
“Betul, aku memang pintar.” Ino menyangga
dagunya dengan kedua tangan yang ia angkat ke meja. “Tadi kaukatakan
menggunakan ketampanan Sasuke untuk hal baik itu seperti memanfaatkan
ketampanannya. Hm … bukankah kau seharusnya bersyukur karena Sasuke tidak
memanfaatkan ketampanannya itu?” Sakura terlihat bingung, lalu Ino melanjutkan,
“Begini, Saku-chan, biasanya orang tampan itu playboy—playboy itu cowok
yang banyak ceweknya. Playboy harus
didukung dengan aset ketampanan dan keahlian menggoda dari si cowok. Nah,
untungnya kekasihmu itu—si Sasuke—tidak hobi menggoda cewek meskipun ia tampan.
Coba saja kalau Sasuke seperti itu, pasti kau sudah kebakaran jenggot duluan,
‘kan? Makanya kukatakan kau harus bersyukur,” Ino menjelaskan pelan-pelan.
Sakura tidak menyahut sementara Ino terus
memperhatikannya. Tanpa sadar, pikiran Sakura melayang pada kejadian kemarin
malam, saat ia melihat Karin mengirim mention
Twitter kepada Sasuke. Dari isinya yang menanyakan ‘Sasuke-kun, sudah
sampai’ itu, tidak mungkin muncul kalau Sasuke tidak berhubungan dengan Karin.
Artinya, sudah pasti sebelumnya ada kegiatan goda-menggoda yang dilakukan Karin
atau lebih parahnya, Sasuke.
Bagaimana Sakura bisa bersyukur kalau ia
belum tahu siapa yang menggoda? Kalau benar Sasuke yang menggoda Karin, maka
Sasuke tidak lebih dan tidak kurang hanyalah seorang playboy. Dan Sakura tidak bersyukur akan dugaan-dugaan itu.
“Saku-chan!”
Sakura terbelalak karena teriakan Ino serta tangan gadis pirang itu yang
mengetuk keras meja teritorialnya. “Kau tidak mendengarkanku, ya?”
“Mendengarkan apa?” tanya Sakura.
Menghela napas, Ino pun mengulangi
perkataannya, “Tadi aku bilang, kau harus menjaga Sasuke agar selalu dekat
denganmu dan tidak menemukan gadis menarik di luar sana. Kau tahu, ‘kan, di
sekolah ini yang mengantri cinta Sasuke itu banyak. Jadi, kau harus menjaga
Sasuke-mu itu baik-baik.”
Sakura mengernyit tidak suka. “Siapa yang
berani mengantri cinta Sasuke akan kutendang dari barisan antrian. Liat saja!”
Nada gelap terdengar dari sumpah itu.
“Oh! Ini baru Haruno Sakura yang aku kenal,
aku suka gayamu!”
.
.
.
Setelah berkoar di hadapan Ino tadi, bukannya
merasa lega, Sakura justru merasa tidak tenang. Masalahnya, ia sudah bukan
kekasih Sasuke lagi. Dia sendiri yang mempertegas hubungannya itu diTwitter kemarin malam. Jadi ia tidak
punya hak untuk menendang cewek-cewek yang ingin mengantri cinta Sasuke.
Pun begitu, udara panas masih saja merayap
ke permukaan kulitnya. Dia tidak rela. Membayangkan Sasuke berpacaran bersama
cewek lain membuat otaknya berkerja dua kali lipat lebih keras untuk melancarkan
rencana bicara berhadap-hadapan pada Sasuke. Mumpung ia tidak pulang bersama
Naruto karena cowok berambut lemon itu ada kegiatan tambahan sepulang sekolah.
Jadi, di sinilah Sakura sekarang—di ruang
kelas yang hanya dihuni oleh tiga orang. Kedua orang itu sudah pasti ia dan Sasuke—mengingat
ia sudah menyiasati segala situasi dan kondisi untuk menunggu Sasuke sendiri di
kelas membaca bukunya, seperti biasa. Lalu sisanya ada Karin.
Gadis itu, Sakura menggeram.
Manik gadis itu mengikuti dengan tajam
sosok gadis berambut darah segar yang sedang berjalan ke arah Sasuke yang
duduknya di dekat pintu masuk kelas.
“Sasuke-kun,
tidak pulang?” Tegaknya kuping si gadis gulali yang peka itu memanas mendengar
pertanyaan si gadis darah segar.
“Tidak.” Sakura senang bukan main mendengar
jawaban Sasuke yang cuek dan tidak bergairah itu. Sangat bersyukur karena hari
ini tidak hujan, jadi ia bisa menguping pembicaraan kedua orang tersebut.
“Mau pulang bersama?”
“Tidak.”
Tahu rasa
kau!
Dalam hati Sakura bersorak gembira.
“Oh … baiklah. Aku pulang duluan, ya. Kalau
kau tidak ada pulsa lagi, jangan sungkan untuk meng-sms aku seperti kemarin malam!” Sambil tersenyum ceria, gadis
berambut darah segar itu berlalu meninggalkan kelasnya.
Ternyata
selain mereka berduaan, Sasuke-kun juga beli pulsa pada Karin-chan. Padahal
‘kan biasanya ia beli pulsa pada Sai-san! Sakura memaki nama Karin dalam hati.
Setelah dirasa kelas cukup sepi, Sakura
menegapkan tubuhnya untuk berdiri dari bangku yang sejak tadi ia duduki sampai
terasa hangat. Tampil ditemani buih-buih gerogi yang mengucur lewat pori
tangannya membuat Sakura memainkan poninya untuk meringkus rasa gerogi itu.
Gadis gulali tersebut berjalan pelan penuh peluh di pelipisnya. Setelah
terlihat cukup dekat dengan meja Sasuke, gadis itu menghentikan langkahnya.
“Sas—Sasuke-kun …,” ia memanggil nama
itu gelagapan.
Sasuke mengintip dari buku tebal yang
menutupi wajahnya. “Well, coba lihat
siapa yang datang.” Cowok itu menaruh buku tersebut di meja dengan keanggunan
yang sulit dimiliki oleh laki-laki.
Melihat sikap Sasuke yang terlalu biasa
setelah putus darinya, Sakura menatap tegas manik gelap milik mantannya. “Aku
ada perlu denganmu.”
Tanpa mampu dikendalikan, refleks alis si
cowok menukik. “Dan apa yang kauperlukan itu, Sakura?”
“A—aku cuma ingin ….” Nafas gadis itu sulit
diteruskan kala sadar apa yang ingin ia ungkapkan saat ini.
“Ingin apa?”
“Aku mau minta penjelasan!” Merupakan suatu
keajaiban bagaimana nada itu keluar dengan lantang. Terbelalak mendengar
nadanya yang berani itu, Sakura meyakinkan dirinya sendiri bahwa nadanya memang
sudah seharusnya seperti itu.
“Kau mau aku menjelaskan apa? Kau itu
bodoh, aku jelaskan pun kau hanya akan menutup mata dan telinga.”
“Kau berbicara seolah aku sering melakukan
itu padamu! Katakan, kapan aku pernah menutup mata dan telingaku saat bicara
denganmu?” Sakura menyahut tidak terima.
Sasuke mendengus jengkel. “Itu dia! Kau itu
bodoh! Maksudku, kau hanya akan menutup otakmu yang sempit itu atas semua
penjelasan yang kukatakan. Kau tidak akan peduli. Pikiranmu yang utama, fakta
yang ada mana ragu kaupikirkan.”
Beberapa detik kemudian terbelalaklah manik
hijau milik Sakura menyadari bahwa ia memang berkemungkinan besar akan merespon
hal itu pada Sasuke. Pemuda itu sangat mengenalnya. “Jangan bicara seperti aku
paling bodoh di sini!” gadis itu menyahut tinggi meskipun merasa salah. Harga
diri memaksanya untuk bertingkah seperti pengacara—yang penting menang.
“Mengingat hanya ada kita berdua yang ada
di sini. Memang sepenuhnya benar bahwa kau paling bodoh,” kata Sasuke tak pelak.
Sakura menghembuskan nafas. “Terserah.
Peduli apa aku pada gagasanmu? Sekarang aku minta penjelasan!” tuntut Sakura.
“Buat apa minta penjelasan lagi? Bukankah
kau sudah memutuskan hubungan kita kemarin? Kenapa minta penjelasan lagi?”
Pemuda berambut langit malam itu bertanya dengan nada menyindir.
“Aku hanya penasaran! Memangnya kencanmu
dengan Karin-san itu seromantis apa
sih sampai kau tidak mau menjelaskannya padaku?” Sakura melempar nada sindirnya
tak mau kalah.
Sasuke mengernyit, menambahkan intesitas
jengkel ke permukaan kulitnya. “Jangan asal bicara, aku sama sekali tidak
berkencan dengan gadis itu. Kau menuduhku tanpa bukti,” pemuda berambut langit
malam itu berkata dengan nada datar, sekaligus mengemas wajahnya dengan
ekspresi dingin.
Sakura mengusahakan agar nafasnya sudah
teratur sebelum berkata, “Di Twitter
buktinya. Aku melihat jelas apa yang Karin-san
sampaikan padamu di Twitter.”
“Baik, akan aku jelaskan,” kata Sasuke
sebelum melanjutkan kembali, “aku beli pulsa padanya. Kau tidak tahu ‘kan dia
tinggal di dekat rumahku? Dia baru pindah tiga hari yang lalu. Dan dia memasang
papan bertulis ‘jualan pulsa’ di dinding rumahnya, jadi aku membeli pulsa ke
sana saat kau meng-smsku tadi malam.”
Sakura terbelalak tidak percaya. “Lalu apa
maksud dari twit ‘mulai membosankan’ yang kautulis kemarin?”
“Itu karena si cewek mata empat itu lama
sekali mengirimkan pulsa yang kubeli. Aku online saja untuk menghabiskan waktu
dan iseng meng-update apa yang ada di
otakku ke Twitter,” aku pemuda itu
santai.
Sakura menyipitkan mata, masih sulit
mengenali kebenaran yang dituturkan Sasuke. “Terus, bagaimana dengan twit ‘basi
sekali’? Bukankah itu untuk sms-ku
yang tidak penting? Aku tahu, Sasuke-kun!
Aku juga merasa bahwa yang kutanyakan padamu itu memang basi sekali. Jadi untuk
twit ini apa alasanmu, ha?” Terdengar nada mengejek dari pertanyaan si gadis
gulali.
“Itu memang alasanku menulis twit itu.”
Suatu hal yang lumrah bagaimana nada yang keluar dari bibir pemuda itu
terdengar datar.
“Oh! Begitu!” Sakura gelagapan. Karena
panik, ia beraksi mengelap butiran keringat yang mengalir dari pelipis ke
pipinya dengan punggung tangan. “Lalu, bagaimana dengan twit terakhirmu yang
bertuliskan ‘jadi kesal denganmu’ itu? Coba jelaskan!”
“Well … itu bukan urusanmu,” kilah Sasuke.
Menyipitkan matanya, Sakura pun bertanya
lagi, “Itu untukku, ‘kan?“
Melakukan pemanasan jari di mejanya, Sasuke
menghela nafas lelah. Pemuda berambut langit malam itu melakukan gerakan
membasuh mukanya dengan telapak tanpa air. Sakura menyadari saat melihat
kelopak mata pemuda itu yang tak jauh beda dengan kelopak matanya. Garis-garis
di bawah mata itu terlihat berkantung dan agak kehitaman yang merupakan
penampilan tipikal orang kurang tidur.
“Sakura, maaf, tapi aku tidak bisa lagi
membiarkan Naruto mengambil alih tugasku untuk menemanimu.” Sakura terlihat
bingung mendengar pernyataan Sasuke yang cukup sulit dicerna otak. Masalahnya
terdapat pada kata ‘maaf’ yang belum pernah Sakura dengar dari lelaki itu.
“Kau meminta maaf karena kau tidak bisa
lagi membiarkan Naruto mengambil alih tugasmu? Maksudnya apa?”
“Memang bodoh sekali, perempuan ini,“ gumam
lelaki itu lebih kepada diri sendiri, kemudian segera melanjutkan lagi,
“intinya mulai sekarang saat berkencan kita tidak memerlukan Naruto lagi. Jasa
mengantarmu pulang juga menjadi tanggunganku, termasuk saat hujan turun. Kau
hanya akan berbagi payung denganku. Dan sekarang, kusarankan kau menurut saja
padaku, mengerti?” Sasuke menegaskan dengan satu tarikan nafas.
Sakura terpana. Ini momen mereka. Mereka
berdua. “Ini pertama kalinya kita mengobrol sepanjang ini …,” Sakura bergumam pada
dirinya sendiri.
“Hn.”
“Jadi kita sudah balikan?”
“Memangnya sejak kapan kita putus? Kau yang
memutuskannya secara sepihak dan aku belum menyetujuinya. Jadi, bukan. Kita
bukan balikan karena kita belum putus.”
“Oh ….” Sakura menganggukkan kepalanya
mengerti. “Pertanyaan terakhir, Sasuke-kun,
Um—kau bisa merasakan cemburu juga, ya?” Nada gadis itu terdengar malu-malu.
Lagi. Gadis gulali itu baru menyadari kalau
selama ia berdebat dengan Sasuke jantungnya itu berdetak sangat kencang. Tahu pun
tidak kalau dalam titik terlemah hubungannya dengan Sasuke sekalipun si gadis
masih setia menyimpan debarannya.
Teruntuk yang dicinta, hanya Sasuke.
“Untuk apa tanya lagi? Sudah jelas, ‘kan?”
Pemuda itu menarik nafas lalu mengembuskannya seolah lega. “vl.”
Fin
05.15 | | 1 Comments
Tujuh Hari dalam Seminggu
undefined
undefined
Tujuh Hari dalam Seminggu by Devia Purwanti
Tujuh Hari dalam Seminggu is a work of fanfiction. Naruto belongs to Masashi Kishimoto and I own nothing but the plot.
..Enjoy..
Chapter One
xx-xx
Uchiha Sasuke adalah peranakan Konoha yang tidak pernah punya pacar. Dia tidak butuh, tidak ingin, dan tidak berencana mempunyai satu.
Bangun tidur, mandi, makan, sekolah, makan, tidur, main game online, makan, tidur.
Lelaki yang akrab dengan panggilan Sasuke itu mana pernah melakukan kegiatan lain selain itu? Gadget yang ia punya hanya laptop. Tak ada handphone. Tak ada gangguan.
Dunia internet terlalu luas untuk ia belah dengan kegiatan lain selain bermain game. Jadi, ketika internet sampai pada penjamuran situs jejaring sosial, Sasuke tidak melirik dan tidak berencana untuk menjadi partisipan. Terlalu merepotkan. Hidupnya sudah cukup sulit hanya dengan memikirkan strategi bermain game. Jadi menurutnya, tidak perlulah ia repot-repot mengikat tali pergaulan pada orang lain yang keberadaannya maya.
Sasuke tidak punya teman. Dia tidak butuh, tidak ingin, dan tidak berencana mempunyai satu. Kehidupan bersama laptopnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rohaniahnya.
Tapi, Sasuke punya beberapa kenalan di dunia nyata yang juga menjadi kenalan di dunia maya. Kenalan dari sekolah, dan bertemu di situsgame online. Yaitu Hyuuga, Uzumaki, Sabaku, dan Nara.
Dari keempat kenalannya itu, Sasuke paling menaruh dendam pada Hyuuga. Terang saja, akun bernama Hyuuga Neji itu acapkali mengibarkan bendera permusuhan padanya. Sebab lelaki itu sering menantang Sasuke dalam beberapa duel game. Dari yang termudah sampai yang tersulit, entah kenapa akun itu selalu punya jalan untuk menghabisinya dengan telak.
Sasuke akan senang sekali jika dugaan bahwa Hyuuga Neji memakai cara kotor hendaknya dijadikan sebuah fakta oleh takdir. Ia juga akan mengembuskan napas lega. Sebab dirinya kalah dengan bersih, bukan menang dengan kotor.
Karena dia Uchiha Sasuke. Dan dia menyukai kata higienis pada perkara apa pun. Begitupun faktanya, Hyuuga tetaplah seorang kenalan.
xx-xx
Haruno Sakura adalah peranakan Suna yang sudah pernah punya pacar. Dia butuh, dia ingin, dan dia berencana mempunyai satu.
Bangun tidur, mandi, makan, sekolah, makan, membaca atau menulis, mandi, makan, belajar, tidur.
Kegiatan itu tidak ia jalani secara konstan. Sebab tidak ada yang konstan di hidupnya. Hal-hal di atas lebih kepada sebuah kebiasaan.
Haruno Sakura paling suka menulis. Ia menulis apa saja angin yang masuk ke hidupnya di jejaring sosial. Yaitu Facebook, nama jejaring sosial itu. Dan ia selalu menulis hal-hal tidak penting di sana.
Yap. Hal-hal tidak penting. Seperti dirinya yang sering berpetualang dan mengalami persentuhan fisik dengan binatang yang ia anggap menjijikan. Tapi anehnya, selalu saja ada orang baik hati yang menyukai atau sekedar berkomentar pada catatannya itu. Terkadang Sakura juga bertanya-tanya apakah orang baik itu benar-benar membaca catatan tidak pentingnya atau hanya tidak sengaja mengklik 'suka'. Tapi gadis itu memutuskan bahwa hal seperti itu tidak penting. Ketidaksengajaan merupakan hal yang wajar.
Sakura senang berolahraga, bernyanyi, juga menari. Tapi hal yang paling ia senangi adalah membaca. Lebih dari apa pun—termasuk menulis.
Sebab membaca adalah jalan terpintas untuk mencapai rasa bahagia. Dari membahagiakan orangtua, sampai menjadi orang kaya. Hal seperti itu, bagaimana tidak membuatnya bahagia?
Sakura punya banyak teman di sekolah. Dari yang tinggi sampai pendek, dari cantik sampai jelek, dari cowok sampai cewek, maupun dari kulit putih sampai kulit sawo matang. Ia tidak membatasi pertemanannya di kedua dunia—maya dan nyata, sebab Sakura cukup senang punya banyak teman. Banyak teman banyak rezeki, bukan?
Dari kerjasama sampai mencontek, dari suka sampai duka, dan dari berbagi sampai pemalakan. Bukankah rezeki kasatmata yang seperti itu tidak patut untuk ditolak?
xx-xx
Hari ini hari Senin. Dan itu tandanya, hari ini juga ia akan memulai harinya sebagai peserta Masa Orientasi Siswa di Kon High School. Mencari teman baru adalah perkara utama yang berhasil lolos ke pikiran Sakura. Dia bukanlah sosok yang pemalu. Hanya saja, ia tidak tahu harus bagaimana caranya mengakrabkan diri sementara kakak kelas ada di mana-mana.
Kakak kelas. Pasti akan susah sekali menjalin konversasi di antara beberapa pasang mata yang mengawasinya. Hal itu ia ketahui dari kakaknya, Sasori, yang sekarang sudah menginjak kelas tiga. Tempo hari, kakaknya sudah mewanti-wanti bahwa ia harus hati-hati dengan kakak kelasnya. Sebab begitu mengetahui bahwa adik Sasori yang suka mematahkan hati perempuan memasuki area sekolahnya, pastinya perempuan korban kakaknya itu akan mengincar adiknya. Dan nasi sudah menjadi bubur, ia sudah dilahirkan sebagai adik dari Haruno Sasori. Kakaknya itu juga mengatakan bahwa lelaki di sekolahnya tidak sedikit yang menyandang predikat buaya darat. Jadi ia juga diperingatkan untuk tidak berpacaran dengan salah satu dari buaya itu.
Sakura tidak mengerti. Sekolah barunya ini tampaknya punya banyak skandal. Dan ia, Haruno Sakura, tidak berencana untuk tersedot ke dalam pusaran itu.
xx-xx
Sasuke benar-benar dibuat jengkel oleh kelakuan ketua osis sekolahnya yang dengan seenak jidat memilihnya sebagai panitia Masa Orientasi Siswa.
"Sebagai siswa kelas tiga, catatan partisipasimu pada kegiatan ekstrakulikuler selama tiga tahun ini kosong. Jadi guru kesiswaan menyuruhmu berpartisipasi dalam acara MOS tahun ini. Bukan kau saja, kok." Itulah alibi ketua osis sekolahnya.
Memangnya dia siapa? Sasuke mendengus. Kalau bukan karena dirinya tidak mau berurusan dengan guru kesiswaan sekolahnya yang supergalak, ia tidak akan capek-capek bangun pagi dan berangkat sekolah hanya untuk memeriksa murid baru yang terlambat hari ini.
Apa pedulinya? Dia—murid yang selama tiga tahun sering terlambat ke sekolah—sekarang ditugaskan untuk mengawasi murid yang terlambat pada hari pertama Masa Orientasi Siswa. Dia bukan seorang munafik. Tapi keadaan tidak memberinya opsi lain.
Sasuke merilis napasnya dengan kasar ketika ia sudah sampai di pintu gerbang sekolahnya. Ia memarkirkan sepeda motornya di tempat parkir di samping sekolah. Setelah itu, ia berjalan menuju Aula Serbaguna tempat dilaksanakannya rapat sekilas sebelum masing-masing mengambil alih tugas.
Udara pagi-pagi buta terasa menusuk kulit lengannya yang tidak tertutup seragam. Langkahnya malas dan rahangnya mengeras selama perjalanan. Biasanya jam segini ia masih tidur—atau mungkin masih bermimpi mengalahkan Hyuuga Neji.
"Sasuke!" Ia menoleh dan permata cokelatnya langsung bersirobok dengan permata hitam milik ketua osis.
"Apa?" tanyanya tanpa antusias.
"Kau terlambat. Kami sudah selesai rapat dari tadi. Mana tanggung jawabmu?"
"Tertinggal di rumah," jawabnya enteng.
Wajah ketua osisnya seperti sudah siap melemparkan cacian, namun secepat kilat wajah itu berubah dan ia langsung membenarkan dasinya. "Pulang sekolah nanti kau akan berurusan dengan Fist-sensei. Dan oh, ya, kau bertugas di bagian keamanan. Menangkap dan menghukum siswa yang melanggar peraturan adalah tugasmu. Sampai jumpa." Ketua osis itu berlalu dari hadapannya.
Ia jengkel sendiri di tempatnya. Bagian keamanan? Memangnya dia satpam sekolah? Sasuke memutar arah kakinya. Berarti hari ini dia bertugas di gerbang sekolah, dan yang tadi ia lihat, rekannya sebagai 'satpam MOS' ini bukanlah orang yang ia kenal.
Memangnya untuk apa kenal mereka?
Sasuke mengobservasi rekannya setelah ia sampai di gerbang sekolah. Rekannya ini— bisa dijabarkan oleh satu kata. Wajah-wajah mereka agaknya memang dilahirkan untuk mengemban tugas seperti ini. Betapa tidak, sekali lirik saja, ia bisa menebak bahwa dua lelaki dan tiga perempuan di depannya ini adalah orang yang galak. Benar-benar cocok untuk membuat murid-murid baru yang melanggar peraturan bisa kapok hanya dengan sekali tatap.
xx-xx
Sakura merampas selimut yang menutupi sosok yang masih tidur di depannya. "Bangun, Kak! Sudah jam enam, nanti aku terlambat!" ia meneriaki kakaknya tepat di lubang telinga.
Ini sudah jam enam kurang sepuluh. Hanya tersisa sepuluh menit untuk menyelamatkan diri dari hukuman sebelum ia berserah diri pada perbedaan waktu. Kalau tidak cepat-cepat ia bisa terlambat ke sekolah barunya.
"Tutup mulut! Aku mau tidur!" Alih-alih bangun, lelaki yang sudah membuka mata itu malah menarik selimut yang sempat ia rampas dan memejamkan matanya lagi. Lagi.
Sakura berteriak nyaring dan memukuli kakaknya yang sudah membuat benteng di balik selimut. "Kau sudah janji mau mengantarku ke sekolah!" bentaknya.
Tak ada jawaban.
Bug.
Bug.
Terdengar erangan.
Bug.
"Mengganggu tidurku saja!" Dan akhirnya kakaknya bangun dari tidurnya.
Sakura hanya memamerkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara sebagai tanda perdamaian. "Maaf, ya. Tapi kita harus cepat-cepat!" Ia heboh sendiri dan langsung berlari sembari mencengkram lengan kakaknya.
Tidak mandi dan langsung mengantarkannya ke sekolah. Kakaknya memang orang yang baik. Alhasil, kakaknya membawa mobil dengan tiga per empat kesadaran. Namun itu bukan masalah yang Sakura pikirkan sekarang. Sekarang sudah jam enam tepat dan masih setengah perjalanan lagi jauhnya.
xx-xx
Sasuke menatap malas ke arah sembilan adik kelas yang terlambat di hari pertama. Ia sudah diwanti-wanti oleh gadis bernama Temari—penanggung jawab bagian keamanan—untuk memasang wajah galak ketika adik kelas tiba nanti. Dan adik kelasnya sudah tiba. Ia hanya memasang wajah datar seperti biasa.
Sasuke suka kesunyian. Sembilan murid itu sedang dimarahi dan mereka semua diam. Betapa menyenangkan. Ia memang menyukai kesunyian. Terlebih lagi, kekuasaan. Saat main game pun, saat ia punya kekuasaan, segalanya menjadi mudah. Dan rasa-rasanya ia mulai menikmati tugasnya di bagian keamanan.
Menangkap, menghukum.
Kalahkan, menang.
Bukankah tidak beda jauh?
Namun kesunyian itu terusik oleh suara debaman sepatu dengan aspal. Tunggu—ada lagi yang terlambat. Suara itu seolah mengingatkan bahwa jumlah murid terlambat sudah genap menjadi sepuluh. Ini tandanya mereka semua akan dijemur di bawah bendera. Sasuke bukan orang yang menyukai kesengsaraan orang lain. Tapi di sini, dalam kasus ini, ia menyukainya. Dulu ia yang dijemur. Sekarang ia mempunyai kuasa untuk menjemur.
"Maaf … hoh …, senior! Aku terlambat," gadis pemilik mahkota merah muda itu beralibi di tengah-tengah napasnya.
"Kami juga tahu kau terlambat. Kaupikir kami tidak punya mata?"
"Ma-maaf, senior, bukan begitu ...," kata gadis itu.
"Kalau bicara, tatap lawan bicaramu! Memangnya kau sedang bicara dengan aspal?" Nada sinis yang terdengar membuat gadis itu mengecuntukan badannya. Wajah gadis itu terangkat. Dan Sasuke hampir berdecak ketika melihat betapa pucatnya wajah gadis itu.
"Langsung jemur di bawah tiang bendera saja sampai pulang sekolah," Sasuke melompat menuju konklusinya. Ia sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah, meskipun pada kenyataannya ini masih pagi.
"Ya. Benar sekali, Sasuke-senpai, mereka semua harus dijemur di bawah tiang bendera. Dan ini semua karena jumlah mereka yang genap sepuluh. Solidaritas dalam duka. Jangan saling menyalahkan." Sasuke merasakan dirinya merinding saat suffix –senpai diletakan berdampingan dengan namanya. Ditambah nada itu. Karin, gadis yang berbicara setelah dirinya itu tampaknya benar-benar tahu bagaimana membuatnya jengkel.
Sasuke melempar tatapannya ke arah Temari. Gadis itu tampak sedang berpikir. "Kalau begitu, cepat kalian berbaris. Chouji, dampingi mereka menuju lapangan. Sasuke, pastikan mereka hormat pada bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan selama satu jam penuh. Lee, temani Sasuke. Aku, Karin, dan Kurenai akan berpencar menangkap pelanggar peraturan. Jam delapan kita bertemu lagi di Markas Yakuza."
Ia mengangguk sambil menahan tawa di balik ekspresinya. Aula Sebaguna yang dijuluki Markas Yakuza adalah alasannya. Memangnya pelanggar peraturan pada MOS mau disamakan dengan Yakuza?
xx-xx
Sakura menyadari bahwa wajahnya sekarang ini pasti sudah sangat pucat. Dimarahi oleh senior-senior galak ditambah ia belum sarapan menjadi faktor utama ketegangan punggung leher dan perutnya—yang berujung pada gerilya warna pucat di bibir dan kulitnya. Dan sekarang ia seperti digiring menuju neraka oleh senior bermuka sangar, berbadan gendut, dan berambut cokelat. Bagi Sakura, senior bernama Chouji ini sudah mirip seperti malaikat penjaga neraka yang suka digambar Ino, teman dekatnya.
Dan ada senior yang wajahnya lebih sangar dari Chouji-senpai. Matanya bulat, alisnya tebal, dan badannya seperti korek api kayu yang lurus dan baru berjendol pada puntungnya.
Terakhir, ada senior bernama Sasuke yang wajahnya tidak pernah berubah sejak pertama Sakura melihatnya. Dan anehnya, wajah itu tidak sangar. Bukankah seharusnya penghukum itu berwajah sangar agar pelanggar peraturan jera? Tidak mau ambil pusing, Sakura mengalihkan tatapannya ke langit atas.
Ini akan jadi hari yang panjang—
—dan setelahnya penglihatan gadis itu menggelap.
Bruk.
xx-xx-xx
..TBC..
05.50 | | 0 Comments
Langganan:
Postingan (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Popular Posts
-
His Sunshine by Devia Purwanti Zavier always knew that cutting his hair wasn’t a simple sacrifice. It means everything. He has pride t...
-
Melihat punggung itu dari sudut belakang. Mengambil jarak teraman, menatapnya diam-diam. Berharap jika suatu waktu nanti punggu...
-
Tujuh Hari dalam Seminggu by Devia Purwanti Tujuh Hari dalam Seminggu is a work of fanfiction. Naruto belongs to Masashi Kishimoto and I...
-
Devia Purwanti (G24150034) Department of Geophysics and Meteorology (https://geomet.ipb.ac.id/) Faculty of Mathematics and Natural...
-
Summary : SasuSaku. Paranoid akan hubungannya dengan Sasuke dan api kemarahan yang menyulut hatinya karena sindiran Sang Kekasih di jejarin...
-
Pedagang Sate Kiloan by Devia Purwanti Pernah, di pertengahan hari yang teriknya mampu untuk membunuh bakteri Escherichia coli , si gad...
Blog Archive
Blogroll
R-O-M-A-N-C-E
Blogger templates
DEVIA