Your Follower
undefined
undefined
Melihat
punggung itu dari sudut belakang. Mengambil jarak teraman, menatapnya
diam-diam. Berharap jika suatu waktu nanti punggung itu akan berbalik, kepala
itu akan menoleh dan ada senyum di sana.
Tentu saja.
Tentu saja itu hanya hayalan Petra Ral. Ia sadar betul kalau dirinya terlihat
bodoh karena berpikir seperti itu—kembali ia tepis lagi pikirannya.
Sudah
seberapa lama ia melakukan hal ini berulang-ulang? Kembali mengulang dalam hal
mencari dan mengharap tengokannya. Ia terlalu ikhlas untuk mengingat hal-hal
apa saja yang membuatnya semakin jatuh dalam keindahan dan kekurangan lelaki
itu.
Sejenak
sebelum ia mengikuti Ujian Scouting Legion, ingatannya berpulang pada hari
pertama ia bertemu pahlawannya.
…
Your Follower by Devia Purwanti
Your Follower is a
work of fanfiction, I own nothing but the plot and you better forgive me for
the wait, Ay!
For Kuroba Aya aka Si
Ketek Alia
Your Follower
…
Hari itu, Petra menghilang.
Gadis
kecil pemilik iris amber itu tengah menatap kagum pada boneka kelinci kayu yang
menggantung di atas papan nama Kedai Teh Sakura Minamoto. Warna irisnya
berkelap-kelip di bawah sinar matahari, mencetak ambisi anak kecil yang polos
di wajahnya. Ia mau boneka itu. Ia mau memilikinya.
Maka dengan
sedikit keberanian, Petra menyuarakan keinginannya pada pelayan kedai yang
kebetulan lewat. “Bibi, aku mau boneka kayu itu, dong!” ujarnya sambil menunjuk
boneka kayu itu.
Bibi kurus
yang memakai apron dan bando merah itu hanya meliriknya sekilas, kemudian
melanjutkan jalan seperti ia tidak melihat wajah Petra. Suara hak sepatu kayu
yang dipakai pelayan itu mengalun di udara, menandakan pemiliknya telah pergi. Mengecuntukan
bibir, Petra pun menangis kencang di tengah lautan telinga yang membayangi
tempatnya. Meminta perhatian di sana. Namun, tak ada yang bertanya. Kaki-kaki
jenjang yang setara dengan tingginya itu melangkah tanpa ragu melewatinya,
memberikan tatapan tak masuk akal pada gadis kecil tanpa orangtua yang tengah
menangis kencang di depan kedai teh.
“Hei, anak
sialan! Kemari kau! Kembalikan dompetku! Hei!” Seketika tangisan Petra berhenti.
Matanya yang sembap terlihat berkelip penasaran pada kejadian kejar-kejaran di
depannya. Irisnya kini berfokus pada lelaki gendut yang tengah mengejar anak
laki-laki kurus yang larinya sangat cepat. Terlihat sekali orang-orang sekitar
tak membantu menangkap lelaki kurus itu. Semua terlalu sibuk pada belanjaan
masing-masing. Pasar di hari Minggu terlalu ramai untuk menangkap pencuri
secepat itu.
Anak lelaki itu kemudian berbelok ke gang sempit, dan di
situlah Petra bergerak menuruti naluri anak kecilnya. Rasa ingin tahunya rilis
kala ia berlari mengikuti jejak lelaki itu.
Petra tidak
mengerti akan hal gaib apa yang membawa kakinya menuju tempat di mana lelaki itu
menghilang di balik tembok gang. Ya. Menghilang secepat itu. Secepat kipas
dapat berputar. Petra berjalan menelusuri gang kecil tempat lelaki kurus itu
menghilang. Gang itu terlihat sempit dan hanya muat untuk dua orang dewasa yang
kurus. Pantas saja lelaki itu lewat sini, paman gendut yang mengejarnya tadi
pasti akan berpikir seribu kali untuk mengejarnya lewat gang yang akan menghimpit
tubuh besarnya itu.
Petra
mulai memasukinya tanpa ragu. Gang itu penuh pertigaan dan kepala gadis itu
serasa ingin meledak ketika ia sadar bahwa semakin ia menelusuri gang itu,
semakin jauh pula ia mempersesat dirinya. Penerangan gang kecil itu semakin
menipis. Hanya ada sinar matahari yang menyusup lewat celah-celah atap yang
menutupi gang kecil itu.
Petra pun
menangis di tengah pertigaan. Ia memanggil nama ibu dan ayahnya, meminta agar
mereka cepat mengeluarkannya dari gang kecil yang semakin memperlambat kerja
pernapasannya. Di situlah ia sadar, ibunya tengah membeli tomat ketika ia
mengikuti nalurinya untuk berkeliling pasar. Dengan terperangkapnya ia di dalam
gang kecil yang entah bermuara ke mana, Petra pun sadar bahwa nasibnya akan tak
jauh beda dengan muara gang kecil itu.
Apakah ia
harus berdiam diri menunggu orang dewasa yang sekiranya akan melewati jalan
ini? Petra kembali menangis. Tangisannya menggema di antara tembok yang
mengapitnya longgar. Ia bisa merasakan dirinya bermandikan keringat.
Tiba-tiba,
embusan angin dingin menggigit kulitnya. Ada orang lain di situ selain dirinya.
Petra sudah hampir tersenyum dan ingin meminta tolong ketika yang ia lihat
adalah dua laki-laki dewasa yang mengapit leher botol berwarna hijau di antara
jari mereka. Petra membatu. Naluri anak kecilnya mengatakan bahwa mereka bukan
orang baik.
“Eh, eh, eh …
apakah itu orang, Jerk?” suara lelaki itu terdengar tidak seimbang, mata itu menyipit
meneliti sosoknya, dan Petra tahu bahwa minuman di botol berwarna hijau itulah yang
mengaburkan fungsi indranya.
Pria satu
lagi melambungkan tubuhnya ke depan, menindih teman dekatnya. “Ah, kurasa ‘gitu
….” Ia menguliti wajah Petra dengan mata setengah hidupnya. Petra semakin takut
di bawah tatapan itu. “Itu—daging yang mungkin bisa dimasak, Perv,” katanya
lagi.
Petra sudah
gemetaran di tanah yang ia pijak.
“Kalau
‘gitu, ‘yo tangkap!”
Dan Petra
tidak membuang waktu untuk memacu kakinya, berusaha kabur dari keempat tangan
yang ingin menangkapnya.
Ia berlari.
Ia tidak peduli jika ia harus tersesat lebih dalam—asal ia tidak dimasak di
dalam panci yang panas. Asal ia tidak disajikan di atas piring dalam kondisi
matang.
Ia tidak peduli.
Ia lari.
Namun,
bagaimana bisa dua pemabuk itu mengejarnya? Tangan itu hampir menggapainya—
—hampir—
Dan Petra
pun tersandung dalam suasana gang kecil yang remang-remang. Tubuhnya jatuh ke
tanah. Ia sudah menutup mata ketika tangan itu bergerak mendekatinya. Ia berdoa
di dalam hati—doa anak kecil untuk orangtuanya, ia menunggu dirinya terangkat
dari tanah.
Namun, tak ada yang kunjung meraihnya.
Petra
membuka mata. Ia menatap dua pemabuk yang tergeletak di tanah, dengan dua apel
yang berada tak jauh dari dahi mereka. Petra dapat melihat tanda bulat
kemerahan pada dahi itu.
“Cepat pergi
dari sini,” suara itu terdengar dingin di telinganya. Petra menengok ke arah si
pemilik suara. Ia menatap penuh syukur pada sosok lelaki kurus nan pendek yang
berjalan melangkahi dua pemabuk yang mengejarnya tadi. Bajunya berwarna cokelat
di bawah penerangan yang seadanya—entah warna tanah atau warna alami baju itu,
Petra tak mau menduga. Dan Petra pun salah jika mengira sosok itu sebagai sosok
yang hanya kurus. Ada sedikit otot
yang timbul di balik baju cokelat itu. Wajah gadis itu memerah.
Lelaki itu berjongkok mengambil kedua apel dari tanah, lalu
menggigitnya.
Mata Petra berkaca-kaca. Dia terisak sesekali.
Lelaki itu
mengernyit bingung, “Mau apa lagi? Pergilah. Jika dua pemabuk ini bangun, aku
tidak akan menolongmu lagi.” Ada kilatan kejujuran di mata itu.
Petra sadar
bahwa itu bukanlah ancaman kosong, lelaki itu tidak berbohong saat mengatakan
tidak ingin menolongnya. Namun ia tidak dapat membawa kakinya pergi dari tempat
itu. Ia belum menunjukkan rasa terima kasihnya.
Petra
membungkuk dalam-dalam. “Arigatou,” ujarnya tulus.
Lelaki itu
mendengus dan pergi meninggalkannya. Petra tidak tahu ia harus ke mana. Maka ia
pun memutuskan untuk mengekori tuan pahlawannya dari belakang dengan
takut-takut.
Tiba-tiba
tuan pahlawannya itu berhenti dan berbalik ke arahnya. Petra membeku di tempat.
“Jangan mengikutiku.” Dan pemuda itu kembali berbalik dan melanjutkan
perjalanannya.
Petra
mengekorinya kembali. Menatap punggung di depannya diam-diam. Ia tidak apa-apa
jika dirinya dimarahi kembali oleh tuan pahlawannya. Asalkan ia dapat ke luar
dari tempat ini dan bertemu orangtuanya. Tidak apa-apa.
Saat sampai
di pertigaan, tiba-tiba punggung di depannya berlari menjauh. Petra pun panik
dan ikut berlari mengimbangi kecepatan lelaki di depannya. Punggung itu semakin
jauh. Petra terus berlari.
Sampai
gadis itu pun tak dapat lagi melihat ke arah mana pemuda itu berbelok. Gang
kecil itu menjadi sangat menyeramkan baginya. Ia telah kehilangan sosok
pahlawannya. Ia tak mampu menahan air matanya. Tangisnya pecah kembali.
Tubuhnya ia senderkan pada tembok gang dan merosot ke tanah, putus asa. Ia
mengeratkan pegangannya pada kedua lutut yang ia tekuk ke dada, menenggelamkan
isakannya di situ.
Suara
dengusan menggema. Petra semakin mengencangkan pegangannya, isakannya semakin
keras.
“Benar-benar
merepotkan!” Suara itu terdengar jengkel sekaligus kasar di telinga Petra.
Gadis itu mengangkat wajah, menatap tanya pada tangan terulur yang menyimpan
sebuah apel di telapaknya.
Melihat
wajah dan mata gadis itu yang memerah dan basah, pandangan lelaki itu melembut.
Sesaat kemudian, ia mendorong apel itu ke mulut Petra, memaksa gadis itu untuk
menggigitnya.
Petra
mengusap wajah dan air matanya. Namun bibirnya masih melengkung. Ia masih ingin
menangis. Lantas ia pun mengambil apel itu, menggigitnya sambil menahan air
mata yang ingin terjun dari pelupuk matanya. Ia menatap takut pada sosok yang
sedang berdiri di depannya.
“Kenapa kau
masih menangis!” lelaki itu mengomel dengan kedua tangan di pinggang.
“K—kau ...
tadi kau meninggalkanku …,” ujar Petra sambil terisak.
Decakan
lidah terdengar. “Anak perempuan.”
Petra
kembali menggigit apel manis di tangannya. Sepi yang aneh merayap di udara
lembap gang kecil itu.
“Kau
… yang tadi dikejar paman gendut di pasar, ya?” Petra bertanya dan menyesalinya
begitu lelaki di depannya memasang wajah galak.
“Kau tahu
apa yang kuperbuat pada paman itu?” Dan Petra bertanya-tanya bagaimana suara
lelaki sekecil itu bisa membawa gemuruh di dadanya.
“A-aku—“
“Aku mencuri
dari paman itu. Mencuri uang,” terdengar kebanggaan di sana. Saat lelaki itu
melihat tatapan gelisah yang terlukis di wajah Petra, ia pun memberi tatapan
mencemooh padanya. “Memangnya kenapa? Kau mau kabur, ‘kan, sekarang? Menyesal
karena mengira aku baik? Sana pergi! Pergi yang jauh!”
Petra
kembali mengubur wajahnya di kedua lututnya. Ia tidak pernah diusir—terlebih
lagi dibentak—sesering hari ini. Ia berusaha menahan isakannya, namun entah
bagaimana suara itu masih lolos dari bibirnya.
“Kau mau
apa, sih?” Petra semakin memperbesar suara isak tangisnya, membawa lelaki itu
pada tingkat teratasnya. “Coba katakan kau itu maunya apa!”
Petra
berusaha mengontrol tangisnya, “Hiks … aku mau … hiks … ke luar dari sini,”
ujarnya.
“Baiklah!
Dasar perempuan. Ayo ke luar!” Petra merasakan pergelangan tangannya ditarik
oleh lelaki itu. Kini ia tak mengikuti lelaki itu diam-diam. Lelaki itu sendiri
yang memaksanya untuk mengekorinya. Petra tidak tahu bagaimana sentuhan pemuda
itu begitu menyebar kehangatan di tangannya. Ia hanya merasakannya.
Petra
berjalan dan terus berjalan, berpasrah diri akan ke mana pun lelaki itu mau
membawanya. Semakin ia berjalan, gang kecil itu semakin terang. Pada akhirnya,
Petra dapat menangkap sinar matahari dari ujung gang itu. Entah berapa lama ia
sudah tersesat di dalam gang kecil itu, yang terpenting sekarang ia akan
pulang.
Ia pulang!
Petra
menarik napas dalam-dalam ketika ia tiba di luar. Dan ketika ia berbalik,
pemuda itu tak ada lagi. Telapak tangan yang melingkar di tangannya pun tak ada
lagi. Perasaan kehilangan menerpa hatinya yang masih kecil.
Dan
Petra tahu, ada banyak rasa terima kasih yang belum ia tunjukkan pada lelaki
itu.
Angin yang menerpa rambutnya seolah menyadarkannya pada masa
sekarang. Ia masih di sini. Sudah berapa lama terakhir kali ia mengekori lelaki
itu?
Menunggunya
di pasar, merindukan hadirnya dengan gusar. Kadang ia mengira bahwa ia tak akan
bertemu lagi dengan lelaki itu setelah hari di mana ia tersesat. Namun nyatanya
ia salah. Meski ia harus menunggu berjam-jam setiap hari Minggu di depan Kedai
Teh Sakura Minamoto agar dapat menangkap sosoknya yang berkeliaran di pasar, Petra
sama sekali tidak keberatan. Lelaki itu pantas mendapatkannya. Mendapat
perhatian diam-diamnya.
Kadang
setelah menangkap sosoknya, Petra akan mengekori lelaki itu ke mana pun ia
pergi; entah itu mencuri uang atau mencuri buah. Aksinya begitu mulus dan
jarang-jarang pemilik toko buah menyadari bahwa buahnya telah hilang.
Buah apel.
Lelaki itu begitu menyukai buah apel berwarna merah. Petra pun menjadi jatuh
cinta pada rasa buah apel sejak insiden ia tersesat sepuluh tahun yang lalu. Segalanya
berjalan seperti sebuah kebiasaan—ia mengekori lelaki dengan postur kurus dan
pendek itu setiap hari Minggu. Entah lelaki itu sadar atau tidak, terkadang
rasanya mustahil jika lelaki itu tidak sadar. Petra selalu menunggu hari Minggu
dengan antusias. Selama tiga tahun ia melakukan hal itu.
Sampai
suatu ketika, tiga minggu berturut-turut Petra tak dapat menemukan lelaki itu
di mana-mana. Iris ambernya tak dapat menangkap sosoknya. Ia menunggu, tapi tak
kunjung bertemu. Ia mencari, namun lelaki itu tak jua kembali. Ia mulai
frustrasi. Tiga minggu yang menyedihkan itu terus berkembang menjadi tiga
minggu yang lain. Melewati hari, bulan, dan tahun-tahun tanpa lelaki yang ia
sendiri pun tidak tahu namanya.
Sampai masa
di mana titan kembali hadir dalam kehidupan manusia setelah ratusan tahun
tembok besar dibentuk. Keberadaan mereka menaungi tembok besar yang melindungi
hidup tentramnya, membuat manusia hidup dalam ketakutan akan kebinasaan
umatnya.
Petra
berlatih ilmu bela diri. Ia tidak tahu apa gunanya itu—toh titan tak akan mati
jika dirinya mampu menguasai segala macam ilmu bela diri. Namun Petra tahu ia
tidak boleh menyerah. Umat manusia masih punya harapan.
Jadi, di
sinilah ia sekarang—mengantre bersama ratusan orang untuk masuk ke dalam
anggota Scouting Legion, divisi yang bertanggung jawab untuk melakukan
ekspedisi keluar tembok dan mencari informasi sekecil apa pun agar umat manusia
dapat selamat dari serangan titan.
Dan masih
ada satu motif yang berada di belakang kepalanya—
—Corporal Levi, yang wajahnya dilukiskan dalam pencarian
anggota Scouting Legion-lah yang membawanya pertama kali ke sini.
Wajah
itu—wajah dengan nama Levi di bawahnya berhasil menarik hati dan fisiknya ke
sini. Sejauh ini. Petra tahu bahwa lelaki bernama Levi itu pasti pahlawan
kecilnya yang dulu. Entah bagaimana, Petra hanya merasa ia tahu betul wajah
itu. Tubuh itu, rambut itu, mata itu, tatapan mata itu. Bahkan Petra merindukan
aksi mencuri buahnya yang sangat cepat dan tak terlihat. Begitu membuatnya
ingin kembali lagi pada ingatan masa lalu.
Tapi Petra
sadar, ia sudah di sini. Sebentar lagi ia akan membuktikan bahwa wajah itu
adalah pahlawan kecilnya yang tiba-tiba menghilang dari pasar.
Dan ketika
seorang lelaki berambut hitam berbicara kencang di atas menara, Petra tak dapat
membendung lagi air matanya.
Benar, kan.
Benar. Levi itu nama pahlawannya—ternyata namanya Levi.
Tatapan mata
yang tak berubah itu meneliti ratusan kepala yang rela mati melawan titan.
Mencari keberanian tanpa ragu di wajah-wajah pemuda yang kelak akan mati di
bawah kaki atau di antara gigi-gigi besar yang mengunyahnya tanpa nafsu. Atau,
kelak mereka akan menjadi orang-orang yang mampu menumpas titan-titan di luar
tembok. Selalu ada peluang, bukan?
Dan iris hitam
kecilnya bersirobok dengan iris amber besar milik seorang gadis.
Kelopaknya
melebar setelah mengenali gadis itu. Gadis yang sangat suka mengekorinya
mencuri di pasar dulu. Partner in crime
pasif. Levi menutupi ekspresinya, mengembalikannya seperti semula.
Dalam
hati, pemuda bernama Levi itu mengutuk perempuan yang selalu mengekorinya itu.
Dasar
perempuan.
The End
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Popular Posts
-
His Sunshine by Devia Purwanti Zavier always knew that cutting his hair wasn’t a simple sacrifice. It means everything. He has pride t...
-
Melihat punggung itu dari sudut belakang. Mengambil jarak teraman, menatapnya diam-diam. Berharap jika suatu waktu nanti punggu...
-
Tujuh Hari dalam Seminggu by Devia Purwanti Tujuh Hari dalam Seminggu is a work of fanfiction. Naruto belongs to Masashi Kishimoto and I...
-
Devia Purwanti (G24150034) Department of Geophysics and Meteorology (https://geomet.ipb.ac.id/) Faculty of Mathematics and Natural...
-
Summary : SasuSaku. Paranoid akan hubungannya dengan Sasuke dan api kemarahan yang menyulut hatinya karena sindiran Sang Kekasih di jejarin...
-
Pedagang Sate Kiloan by Devia Purwanti Pernah, di pertengahan hari yang teriknya mampu untuk membunuh bakteri Escherichia coli , si gad...
Blog Archive
Blogroll
R-O-M-A-N-C-E
Blogger templates
DEVIA
0 komentar:
Posting Komentar